“Sesuai pasal 12 ayat 1 huruf A PP no 1 tahun 2003, maka komisi sebagai pejabat yang berwenang memberikan pertimbangan selanjutnya berpendapat bahwa terduga pelanggar masih dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan, Rabu (22/2).
Ia menjelaskan, sanksi bersifat etika yang dilanggar Bharada E dalah, perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela. Eliezer pun diminta meminta maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP dan secara tertulis kepada pimpinan Polri.
“Sanksi administratif, mutasi bersifat demosi selama satu tahun. Sementara, Richrad Eliezer menerima,” imbuhnya.
Menurutnya, putusan demosi berlaku sejak ditandatangani dan yang bersangkuitan menerima putusan tersebut. Terkait dengan perlindungan keselamatan Richard, Ramadhan memastikan, seluruh internal Polri wajib menghormati dan menghargai putusan komite etik.
“Keamanan kami dari internal seperti Propam akan dilakukan,” tuturnya.
Sejumlah pertimbangan jadi dasar pertimbangkan untuk memutuskan keputusan tersebut. Antara lain, Bharada E belum pernah dihukum, mengakui kesalahan serta menyesalinya. Selain itu, Bharada E juga bersedia menjadi justice collaborator. Ia juga dinilai bersikap sopan selama persidangan serta masih berusia muda, sehingga punya peluang meraih masa depan yang baik.
Bharada E juga telah meminta maaf kepada keluarga Brigadir Yosua atau Brigadir J. Bharada E juga dinilai tidak punya keberanian untuk membantah perintah Sambo untuk menembak Brigadir J karena jenjang pangkat yang terlalu jauh antar keduanya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan, pihaknya akan mempertimbangkan semua aspek yang meringankan di sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Bharada E dan Bripka Ricky Rizal.
“Seperti saya sampaikan, kami akan mempertimbangkan semua aspek yang meringankan maupun untuk hal-hal lain yang tentunya, semuanya akan hitung,” kata Listyo Sigit, Selasa (21/2/2023).
Seperti diketahui, Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri hari ini, Rabu, melaksanakan Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terhadap terduga pelanggar Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E. Sidang menghadirkan delapan orang saksi.
“Ada delapan orang saksi ya,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Rabu.
Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo menjadi salah satu saksi dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terhadap Eliezer. Selain Ferdy Sambo, ada tujuh saksi lainnya yang diundang untuk memberikan keterangan, yakni Ricky Rizal Wibowo, Kuat Ma’ruf. Kemudian, Kombes Pol. MBP, AKP DC, Iptu JA, Ipda AM dan Ipda S.
Ramadhan menyebut, Ferdy Sambo, Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf tidak hadir di sidang KKEP Bharada Eliezer karena alasan perizinan. “Tiga saksi yang pertama disebutkan (FS, RR dan KM) tidak hadir dalam sidang kode etik,” kata Ramadhan.
Namun, kata Ramadhan, keterangan dari Ferdy Sambo, Ricky Rizal Wibowo dan Kuat Ma’ruf dibacakan secara tertulis oleh komisi kode etik.
Dengan begitu, sidang hari ini hanya dihadiri tiga oleh tiga saksi, yakni AKP DC, Ipda AM dan Ipda S. Saksi Kombes Pol. MBP, Iptu JA tidak hadir karena alasan sakit.
“Delapan saksi yang dipanggil ada tiga, sisanya dibacakan di sidang KKEP secara tertulis,” tutur Ramadhan.
Adapun saksi inisial Kombes MBP merujuk pada Murbani Budi Pitono, AKP DC merujuk pada keterangan Dyah Chandrawathi, Iptu JA merujuk pada Januar Arifin.
Sidang Etik Bharada Eliezer dimulai pukul 10.25 WIB, sidang dipimpin oleh tiga komisi, yakni Sesrowabprof Divpropam Polri Kombes Pol. Sakeus Gintung, selaku ketua komisi, Irbidjemen SDM I Itwil V Itwasum Polri Kombes Pol. Imam Thabroni dan Kabagsumda Rorenmin Bareskrim Polri Kombes Pol. Hengky Widjaja, masing-masing sebagai anggota komisi.
Sidang juga menghadirkan dua Anggota Kompolnas sebagai peserta sidang. “Sidang ini juga dihadiri oleh anggota Kompolnas, Benny Mamoto dan Poengky Indarti,” tutur Ramadhan.
Sebelumnya, Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, kembalinya Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumio menjadi anggota Polri bisa menjadi pemantik budaya whistleblowing di institusi kepolisian.
“Yang jadi pertanyaan apakah Polri siap dengan budaya tersebut. Artinya, apakah Polri nyaman menerima seorang justice collaborator alias whistleblower?” kata Reza, Senin (21/2).
Menurut dia, Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumio atau Bharada E layak untuk melanjutkan karir di kepolisian. “Namun, apakah Polri siap untuk menerima Eliezer kembali, hal ini yang menjadi pertanyaan pentingnya,” ujar Reza dengan nada tanya.
Dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, kata dia, Bharada E sudah memperlihatkan, ia bukanlah personel dengan pangkat rendah yang bisa didikte untuk menyembunyikan penyimpangan yang dilakukan oleh senior. Bahkan oleh seorang jenderal sekalipun.
Menurut Reza, tindakan Eliezer bisa dipandang berpotensi mengganggu jiwa korsa Polri. Peneliti ASA Indonesia Institute itu menjelaskan, peran Eliezer sebagai justice collaborator sebangun dengan whistleblower. Perannya menunjukkan betapa ketaatan pada kebenaran lebih tinggi daripada kepatuhan yang menyimpang.
“Dengan mentalitas seperti itu, Eliezer layak dipandang sebagai aset. Bukan sebagai musuh, Lalu, yang menjadi permasalahan justru pada Polri, seberapa siap untuk menerima Eliezer kembali,” ujar Reza.
Jawaban dari permasalahan ini, kata Reza, tergantung pada dua hal, yakni, apakah Polri mempunyai sistem pengembangan karier bagi personel dengan karakter seperti Eliezer. “Artinya, profesionalisme Eliezer harus terus dikembangkan,” serunya.
Reza juga mengingatkan, status Eliezer pernah divonis bersalah terkait Pasal 340 KUHP. Meski hukumannya ringan satu tahun enam bulan, tapi hukuman itu dijatuhkan terkait pembunuhan berencana. “Itu sangat serius,” paparnya.
Reza mengatakan, Polri mempunyai kepentingan besar terhadap anggotanya yang pernah melakukan tindak pidana untuk memastikan Eliezer tidak menjadi residivis (mengulangi perbuatan pidana). Baik residivisme atas perbuatan yang sama maupun residivisme terkait tindakan lain.
“Jadi, di samping pengembangan profesionalisme, Polri juga harus melakukan risk assessment dan rehabilitasi terhadap Eliezer,” kata dia.
Yang terakhir, kata Reza, apakah Polri mempunyai sistem untuk melindungi Eliezer dari kemungkinan serangan pihak-pihak yang barangkali tidak sedang dengan sepak terjangnya.
Sebelumnya, Kamis (16/2), Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menyebutkan, peluang Eliezer untuk kembali ke institusinya di Brimob masih ada. Peluang itu ditentukan hasil sidang Komisi Kode Etik Polri yang saat ini sedang disiapkan oleh Divisi Propam Polri. (Red)