Tone Deafness, Kebuntuan dalam aspirasi Rakyat sebagai hak Demokrasi

oleh

InvestigasiMabes.com | Banyuwangi – Istilah “tone deafness” merupakan istilah yang digunakan dalam pembelajaran bidang seni musik, dimana ada sebagian orang, dianggap punya gejala “tuli nada” tidak bisa membedakan nada rendah-tinggi sebagai kepekaan hati dan rasa. Hal ini juga dikaitkan bahwa orang yang dikatakan atau mempunyai gejala “tone deafness” dianggap hatinya “kaku” tidak punya kepekaan, kepedulian, kebebalan dan kurangnya empati terhadap kejadian sekitar.

 

Hal tersebut, direfleksikan sebagian masyarakat sebagai “gambaran” kondisi perpolitikan, kekuasaan, penegakan hukum dan birokrasi saat tidak lagi dapat membaca keluahan dan mendengar aspirasi masyarakat. Masyarakat mengalami kesusahan dan kesulitan hidup, pemimpin dan pejabatnya tengah asyik menumpuk kekayaan hasil berjamaah.

 

Sebelumnya, juga diramaikan dengan istilah era “post truth” dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran oleh kendali penguasa. Apakah kita merasakan sampai hari ini, ya kita sedang berada dan masih sedang pada era ini. menggeser suatu keyakinan kebenaran keilmuwan dengan kekuasaan/kesewenangan. Dijadikan kaki tangan orang atau kelompok yang bertugas mengkultuskan, dengan agenda dan rencana maksud buruk bisa jadi kejahatan, sehingga dapat berjalan lancar tanpa hambatan.

 

Era post truth dan sekarang menjadi era tone deafness, sudah berjalan dan mencapai tujuan saat ini, entah masih terus naik, atau sudah mencapai anti tesis, karena rakyat semakin sadar, atas layanan buruk dari era rezim yang sedang berkuasa. Indikator yang dihasilkan, semakin tingginya angka indeks korupsi, hukum yang dikendalikan, kesulitan dan susahnya mendapatkan kelayakan hidup, pajak-pajak dinaikkan, sumber daya alam, dikuasai sebagian kelompok tertentu, ekonomi berpihak pada pemodal yang berafiliasi dengan penguasa , pembegalan anggaran APBD, eksploitasi SDA atas pribadi dan golongan tanda-tanda tersebut semakin masif terjadi era sekarang.

 

Kelompok penguasa yang mempunyai kejiwaan tone deafness, telah merambah sampai ke , raja-raja kecil, memainkan kekuasan dan birokrasi seakan tidak lagi peduli dengan aspirasi masyarakat. Mereka telah mengalami kondisi “mabok” atas kekuasaan dan jabatan selama 10 tahun berjalan.

 

Suara kritis, tidak puas, aksi kolektif dibalas dengan “sinis dan simbol orang ruwet” yang mesti diredam. Padahal kelompok ini murni memperjuangkan hak umat atas ketidakadilan, hukum yang berpihak, kondisi sosial, kepekaan dan empati kepada rakyatnya atas “kebutaan hati dan mabuk harta dan kekuasaan”.

 

Tone Deafness, adalah refleksi kondisi bangsa, atas kepemimpinan yang dianggap telah menyimpang jauh dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45. Para pejuang yang telah rela berkorban jiwa raga menumpas kaum penjajah, berharap supaya kelak generasi dan anak cucu bangsa dapat menikmati harta yang diwariskan/diperjuangkan tidak jatuh ketangan “para penjajah” (Red)

Oleh : Andi Purnama

Pengamat kebijakan publik

Related Posts