InvestigasiMabes.com | Banyuwangi -
Oleh:
Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th., CBC.
(AKADEMISI & AKTIVIS)
Fenomena pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang kembali menambah utang hingga mencapai angka fantastis sebesar 290 miliar rupiah bukan sekadar manuver fiskal biasa, melainkan cerminan dari krisis etika dalam pengelolaan keuangan publik. Kebijakan ini menunjukkan sebuah kontradiksi serius antara narasi pembangunan berkelanjutan dengan realitas ketergantungan struktural terhadap utang. Lebih dari itu, keputusan ini memberi preseden buruk bagi masyarakat di mana pemerintah, alih-alih mendidik rakyat untuk hidup mandiri secara ekonomi, justru menjadi aktor yang menormalisasi budaya konsumtif dan ketergantungan finansial.
Dalam perspektif etika publik dan good governance, praktik berutang secara masif tanpa transparansi yang memadai terhadap penggunaannya merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip akuntabilitas. Pemerintah seharusnya menjadi teladan dalam pengelolaan sumber daya, bukan menjadi patron dalam membangun mentalitas instan dan jalan pintas. Ketika elit birokrasi dengan mudah memilih utang sebagai solusi, maka tidak mengherankan jika rakyat Banyuwangi pun meniru pola tersebut dengan berbondong-bondong mengakses pinjaman dari bank plecit, rentenir digital, atau koperasi liar. Karena, secara sosial, kebijakan pemerintah menjadi legitimasi moral atas gaya hidup ‘yang penting bisa bayar cicilan’.
Lebih parahnya lagi, utang publik tidak berdiri dalam ruang hampa ia mengandung beban fiskal jangka panjang yang akan diwariskan kepada generasi mendatang. Jika tidak disertai dengan program produktif yang jelas, maka utang 490 miliar bukanlah investasi untuk kesejahteraan, melainkan bom waktu fiskal yang siap meledak. Sementara itu, rakyat disuguhkan dengan retorika pembangunan yang gemerlap di permukaan, tetapi rapuh secara struktur.
Dengan demikian, ketika rakyat kini hidup dalam pusaran utang pribadi yang mencekik, tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Sebab, pemerintah telah lebih dahulu memberi contoh konkret bahwa utang adalah instrumen utama dalam menyiasati keterbatasan. Maka menjadi sahih jika rakyat Banyuwangi hari ini menjadikan utang sebagai gaya hidup, sebab mereka meniru teladan dari atas: sebuah etika keuangan publik yang cacat sejak dalam pikiran.
Kebijakan berutang bukan hanya keputusan ekonomi, tetapi cerminan mentalitas kekuasaan. Dan bila pemerintah tidak mampu memberikan contoh pengelolaan fiskal yang bijak, maka jangan berharap rakyat akan hidup dalam kemandirian. Sebab, seperti pepatah Jawa bilang, "Wong cilik mung niru sing gede." Pemerintahnya senang berutang, maka warganya pun ikut-ikutan menjadikan utang sebagai solusi hidup. Maka tidak salah jika Banyuwangi hari ini bukan hanya darurat utang publik, tetapi juga darurat teladan moral.
Red.
Editor : RedakturSumber : Team