Nasionalisme "Harap-harap Cemas" di Tengah Maraknya Korupsi dan Krisis Nalar Anak Bangsa

Nasionalisme "Harap-harap Cemas" di Tengah Maraknya Korupsi dan Krisis Nalar Anak Bangsa
Nasionalisme "Harap-harap Cemas" di Tengah Maraknya Korupsi dan Krisis Nalar Anak Bangsa

InvestigasiMabes.com | Banyuwangi -

Oleh: Andi Purnama – Pengamat Kebijakan Publik

Melihat kondisi bangsa hari ini, dengan maraknya kasus korupsi dan menurunnya moralitas serta etika penyelenggara negara, generasi muda mulai diliputi rasa cemas terhadap masa depan bangsanya. Ungkapan satir “Indonesia gelap maupun kabur aja dulu” yang ramai di dunia maya, mencerminkan keresahan dan kegelisahan anak muda terhadap arah bangsa yang kian tak menentu.

Fenomena korupsi yang kian “tak bernalar”, perampokan sumber daya alam yang terus terjadi, serta birokrasi yang tersumbat oleh kepentingan, membuat pemerintah seolah tak mampu mengikuti kecepatan nalar generasi muda. Di tengah era informasi dan disrupsi pengetahuan yang bergerak cepat, respons pemerintah justru tampak gagap menghadapi perubahan zaman. Dalam situasi ini, nasionalisme perlahan memudar dari narasi kaum muda, karena negara dirasakan semakin jauh dari keberpihakan terhadap mereka.

Nasionalisme kini tampak seperti milik generasi lampau — generasi 80-an atau 90-an — yang menampilkan kebanggaan dengan kesadaran ideologis dan kompetensi nyata. Sedangkan pada sebagian generasi muda kini, pragmatisme menjadi arus utama: “prestasi adalah generate money”. Nilai pengabdian terhadap kampung halaman, daerah, bahkan negara, tergeser oleh logika ekonomi. Seolah nasionalisme hanya menjadi simbol seremonial—layaknya tim nasional yang berisi “pemain pinjaman”—kebanggaan semu yang mengubah cara pandang terhadap makna cinta tanah air.

Pertanyaan kritis pun muncul: untuk siapa sesungguhnya kekayaan alam negeri ini? Gunung emas, tambang batubara, hingga hutan luas, sebagian besar dikuasai segelintir elit dan keluarganya. Rasa keadilan sosial yang dijanjikan konstitusi seakan hanya tertulis di atas kertas. Ketika literasi anak muda semakin tajam, justru mereka menemukan paradoks: sumber daya bangsa tak berpihak kepada rakyatnya sendiri.

Amanah rakyat kini seolah menjadi komoditas politik. Setelah suara dirayu dan dibeli, kepentingan publik pun ditukar dengan permainan anggaran. Serangan fajar menjadi awal dari serangan balik kepentingan pribadi. Ketika politik kotor bersanding mesra dengan kekuasaan hukum, keadilan kehilangan maknanya. Di ruang akademik, mahasiswa diajarkan bahwa hukum adalah panglima; namun di dunia nyata, hukum justru tunduk pada kekuatan modal dan politik. Supremasi hukum pun tereduksi menjadi alat manipulasi bagi mereka yang berkuasa.

Dalam momentum Hari Sumpah Pemuda, kegelisahan ini kian terasa nyata. Di tengah upaya membangun optimisme, pemuda menghadapi realitas pahit bahwa etika publik dan moralitas pejabat hanyalah buih di permukaan. Mereka terus menunggu datangnya titik balik—sebuah “entri point” bagi kebangkitan nasionalisme baru—yang bukan hanya simbol, tapi nyata dalam keadilan, kesejahteraan, dan keberpihakan negara terhadap generasi muda.

Editor : Redaktur
Sumber : Andi Purnama