InvestigasiMabes.com | Banyuwangi -
Oleh: Yanto, LPKMI (Lembaga Pemberdayaan dan Kreativitas Masyarakat Indonesia)
DPRD Banyuwangi sejatinya telah melakukan hearing dan inspeksi lapangan (sidak) ke lokasi. Hasilnya jelas: tidak ditemukan izin alih fungsi lahan. Namun, sidak dan hearing itu berakhir tanpa tindak lanjut tegas. Aktivitas PT Kalibendo tetap berlangsung, seakan tidak tersentuh hukum. Situasi ini memberi kesan kuat bahwa fungsi pengawasan DPRD hanya sebatas seremonial, tanpa keberanian untuk menekan pihak eksekutif agar bertindak sesuai aturan.

Pertanyaan publik kini mengemuka: bagaimana bentuk pertanggungjawaban atas anggaran yang digunakan untuk kegiatan sidak dan hearing tersebut? Anggaran yang bersumber dari uang rakyat seharusnya menghasilkan keputusan dan tindakan nyata, bukan laporan kosong tanpa kejelasan tindak lanjut. Jika sidak hanya berakhir di meja notulensi tanpa hasil konkret, maka efisiensi dan transparansi penggunaan anggaran patut dipertanyakan. Apakah laporan hasil sidak telah dipublikasikan kepada masyarakat? Apakah rekomendasi resmi telah disampaikan kepada bupati? Jika tidak, publik berhak menilai bahwa kegiatan tersebut hanya menghabiskan anggaran tanpa manfaat nyata bagi rakyat Banyuwangi.
Padahal, regulasi sudah sangat jelas. UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan melarang alih fungsi lahan tanpa izin dan memberikan ancaman pidana hingga 5 tahun penjara serta denda Rp1 miliar. PP No. 1 Tahun 2011 dan Perpres No. 59 Tahun 2019 juga menegaskan bahwa setiap perubahan fungsi lahan harus melalui izin resmi pemerintah pusat dan daerah. Sementara itu, UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan mewajibkan setiap perubahan komoditas dalam HGU memperoleh persetujuan pemerintah daerah. Dengan demikian, apa yang terjadi di Kalibendo merupakan bentuk pelanggaran hukum yang nyata.
Editor : RedakturSumber : Team