Penebangan Hutan Lindung di Simpati Pasaman Terus Berlanjut, Warga Cemas Banjir Bandang

Foto Redaktur
Penebangan Hutan Lindung di Simpati Pasaman Terus Berlanjut, Warga Cemas Banjir Bandang
Penebangan Hutan Lindung di Simpati Pasaman Terus Berlanjut, Warga Cemas Banjir Bandang

InvestigasiMabes.com | Pasaman — Aktivitas penebangan liar di kawasan hutan lindung Simpati, Kabupaten Pasaman, terus menjadi perhatian serius masyarakat. Meski telah berulang kali diperingatkan oleh Walinagari, Badan Musyawarah (Bamus), dan warga setempat, kegiatan perambahan hutan di daerah Mudiak Nigi dan Ulu Aia Timaran justru masih terus berlangsung tanpa ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum.

Kondisi ini menimbulkan keresahan warga. Mereka khawatir, jika pembalakan liar terus dibiarkan, potensi terjadinya banjir bandang dan longsor besar di wilayah hilir Simpati semakin tinggi. Pasalnya, kawasan tersebut merupakan daerah penyangga air yang sangat vital bagi keberlangsungan ekosistem sekitar.

“Kami sudah berulang kali menyampaikan laporan dan teguran, bahkan masyarakat pernah mendatangi lokasi secara langsung. Tapi sampai sekarang tidak ada tindakan nyata dari pihak berwenang,” ujar M. Riko, selaku perwakilan Bamus Nagari Simpati, kepada InvestigasiMabes.com, Rabu (29/10/2025).

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten
Menurut Riko, aktivitas penebangan di kawasan lindung tersebut jelas melanggar aturan dan membahayakan lingkungan hidup. Ia menduga ada pembiaran atau lemahnya pengawasan dari instansi terkait.

“Ini bukan sekali dua kali terjadi. Padahal sudah ada larangan resmi dari nagari. Masyarakat sekarang mulai bertanya-tanya, kenapa pemerintah daerah dan aparat seolah tutup mata? Apakah harus menunggu bencana besar baru ada tindakan?” tegasnya.

Secara hukum, praktik tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 50 ayat (3) huruf e, yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang menebang pohon dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat berwenang. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (5) undang-undang yang sama.

Editor : Redaktur
Sumber : Team
Bagikan


Berita Terkait
Terkini