Ironisnya, lahan produktif yang kini dikelola Koperasi Bina Bersama justru terancam tidak sah secara hukum, sementara warga Desa Puding yang telah mengelola tanah tersebut secara turun-temurun malah tersingkir dari pengakuan hukum negara. Situasi ini mencerminkan betapa sistem hukum saat ini lebih berpihak kepada mereka yang lebih dahulu 'bicara' kepada pejabat, bukan kepada yang memiliki bukti dan sejarah penguasaan.
Dalam aksinya, massa menyampaikan sejumlah tuntutan, antara lain:
Penindakan terhadap dugaan pemalsuan dokumen pertanahan,
Penghentian kriminalisasi terhadap 7 warga Desa Puding,
Pengusutan menyeluruh terhadap praktik mafia tanah di wilayah mereka,
Warga dengan tegas menolak upaya damai tanpa kejelasan kebenaran hukum. “Perdamaian tanpa kebenaran hanyalah penindasan dalam wajah yang lebih sopan,” kata salah seorang warga yang turut dalam aksi.
“Ini bukan sekadar soal batas desa, tapi batas nurani. Jika pejabat lebih percaya pada peta buatan ruang ber-AC daripada pada jejak kaki petani yang telah menggarap tanah ini puluhan tahun, maka bukan tanahnya yang digusur, tapi akal sehatnya yang dicabut,” tutupnya penuh sindiran.
Editor : RedakturSumber : Team